tirto.id - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani menyayangkan aksi utang dilakukan oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Dia menilai aksi tersebut tidak lazim lantaran perusahaan mengambil utang dari dana yang lebih mahal, terlebih untuk menutup utang lain yang bunganya jauh lebih murah.
“Melihat kondisi market saat ini potensi bunganya pasti naik,” kata Aviliani kepada wartawan, dikutip Rabu (26/4/2023).
Dia menilai pasar modal sedang mengalami pengetatan sehingga dana murah sulit didapat oleh PGEO.
“Perseroan bakal menanggung beban bunga obligasi yang sangat tinggi di saat minimnya dana murah,” ujar Aviliani.
Likuiditas pasar modal dunia yang kurang memadai dinilai bakal menjadi dilema bagi penerbitan surat utang luar negeri (global bonds) oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dalam rangka refinancing. PGEO berencana menerbitkan surat utang berwawasan hijau alias green bonds di luar wilayah Indonesia sebesar 400 juta dolar AS atau sekitar Rp6 triliun dengan bunga sebesar 5,15 persen per tahun yang jatuh tempo pada tahun 2028.
PGEO akan menggunakan dana dari utang tersebut untuk melunasi seluruh sisa utang dengan Mandated Lead Arrangers, Kreditur Sindikasi Awal dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebagai Facility Agent yang akan jatuh tempo pada 23 Juni 2023.
“Pada tanggal Keterbukaan Informasi ini diterbitkan, sisa jumlah kewajiban yang masih terutang berdasarkan Facilities Agreement adalah sebesar 400 juta dolar AS,” ujar manajemen melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dirilis Sabtu, 22 April 2023.
Sejauh ini, total utang PGEO mencapai 943,28 juta dolar AS terdiri dari pinjaman bank jangka panjang setelah dikurangi bagian yang akan jatuh tempo dalam satu tahun senilai 327,7 juta dolar AS. Sedangkan utang jangka pendek PGEO tercatat masih sekitar 615,58 juta dolar AA.
Hal itu berdasarkan perjanjian fasilitas dan surat komitmen per 23 Juni 2021, perseroan memeroleh fasilitas kredit berupa bridge loan dengan plafon 800 juta dolar AS . Hingga akhir 2022, perseroan mencairkan pinjaman itu sebesar 600 juta dolar AS yang tercatat pada pos pinjaman bank.
Beban bunga yang dikenakan atas perjanjian itu adalah LIBOR 3 bulan ditambah margin dan dibayarkan pada akhir periode bunga, margin untuk bulan 1-12 sekitar 0,5 persen untuk offshore dan 0,6 persen untuk onshore. Sementara margin untuk bulan 19-24 sekitar 0,6 persen - 0,7 persen atau masih di bawah 5 persen.
Sementara itu jika mengacu pada rata-rata LIBOR rate 3 bulan pada tahun 2021 hanya sekitar 0,16 persen dan ditambah margin terbesar pada perjanjian fasilitas per 23 Juni 2021 sebesar 0,7 persen, maka bunga pinjaman PGEO saat itu tidak lebih dari 3 persen.
Sebab itu, PGEO diperkirakan bakal membayar biaya pinjaman dengan bunga yang lebih tinggi dalam aksi refinancing kali ini. Sementara itu, Corporate Secretary PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Muhammad Baron mengklaim hingga per 31 Desember 2022, PGE memiliki tingkat rasio utang yang baik, dengan nilai debt to equity ratio (DER) sebesar 0,8.
"Ditambah dengan dana IPO, tingkat rasio hutang PGE sudah semakin baik, sehingga PGE masih memiliki leverage yang kuat," katanya saat dikonfirmasi Tirto.
Sementara terkait dengan utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat, pihak PGE memiliki rencana pembiayaan melalui mekanisme green financing, sehingga tidak berpengaruh pada rencana pengembangan bisnis PGE.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin